EFEKTIVITAS PEMUPUKAN P PADA TANAH GAMBUT

Masganti1, T. Notohadikusumo2, A. Maas2,
dan B. Radjagukguk2

Lahan gambut merupakan lahan yang sangat potensial dikembangkan untuk meningkatkan produksi pangan nasional.
Rendahnya efektivitas pemupukan merupakan salah satu masalah dalam budidaya tanaman di lahan gambut.
Penelitian tentang cara-cara untuk meningkatkan efektivitas pemupukan P yang maksimum merupakan langkah penting dalam pemanfaatan lahan gambut untuk tujuan pertanian.
Penelitian berskala laboratorium telah dilaksanakan untuk mempelajari efektivitas penyediaan P pada tanah gambut. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada di Sekip, Yogyakarta dari bulan April hingga Mei 2001.
Tanah gambut diperoleh dari Bereng Bengkel, di daerah Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
Faktor perlakuan yang diuji dalam penelitian ini adalah sbb :
(a) pemupukan P yang terdiri dari empat takaran, yakni 0, 10, 20, 30 dan 40 μg.g-1,
(b) lama inkubasi, yakni 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7 minggu
(c) tingkat dekomposisi gambut yakni saprik dan fibrik.
Perlakuan ditata dalam rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan.
Pengamatan dilakukan terhadap sifat tanah gambut, pH tanah, P-tersedia dan efektivitas pemupukan P.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat dekomposisi gambut, takaran P, lama inkubasi dan interaksi antara takaran P dan lama inkubasi sangat berpengaruh terhadap nilai pH tanah serta P-tersedia dan efektivitas pemupukan P pada tanah gambut.
Nilai efektivitas tertinggi diperoleh pada kombinasi lama inkubasi 6 minggu dengan takaran pemupukan P 30 μg.g-1.
**
1 BPTP Palangka Raya, Kalteng
2 Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UGM
PENGGUNAAN PUPUK FOSFAT,
KALIUM DAN MAGNESIUM
PADA TANAMAN BAWANG PUTIH DATARAN TINGGI

Subhan dan Nunung Nurtika1

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak kelompok (RAK) empat faktor yang diulang tiga kali. Faktor pertama cara pemberian pupuk K (Kalium), dengan dosis 75 kg K2O/ha dan 150 kg K2O/ha. Faktor kedua cara pemberian K, masing-masing ½ K2O (KCl) + ½ K2O (ZK) pada 0, 15 dan 30 hari setelah tanam. Faktor ketiga dosis pupuk fosfat O, 200 kg P2O5/ha dan faktor keempat dosis pupuk Mg, 60 kg MgO/ha. Penelitian ini dilaksanakan di Ciwidey Kabupaten Bandung dengan ketinggian 1100 m diatas permukaan laut, di lahan petani.
Hasil menunjukkan bahwa penggunaan pupuk fosfat (P2O5) dan Magnesium (MgO) masih diperlukan oleh bawang putih dalam pertumbuhan vegetatif dan generatif. Pada penggunaan pupuk Kalium (K2O) dari ZK pada 30 dan 45 hst memberikan pertumbuhan yang baik dan hasil dua kali lebih tinggi dibanding dengan cara pemberian K yang berasal dari KCl.
EFEKTIVITAS PUPUK PK DAN FREKUENSI PEMBERIAN PUPUK K DALAM MENINGKATKAN SERAPAN HARA DAN PRODUKSI KACANGTANAH
DI LAHAN KERING ALFISOL

Anwar Ispandi 1dan Abdul Munip2

Unsur K sangat penting dalam pembentukan polong dan pengisian biji kacang tanah disamping sangat penting dalam proses metabolisme dalam tanaman. Kadar ion Ca
dalam tanah yang terlalu tinggi dapat menyebabkan tidak efektifnya pemupukan PK sehingga produksi kacang tanah tidak dapat mencapai optimal. Untuk meningkatkan efisiensi pemupukan P dan K di lahan kering Alfisol pada tanaman kacang tanah telah dilakukan penelitian di lahan kering Alfisol, Malang Jawa Timur pada MT 2002 dan MT 2003. Rancangan acak kelompok faktorial, tiga ulangan digunakan dalam penelitian ini. Perlakuan percobaan MT 2002 adalah kombinasi dua jenis pupuk N (Urea dan ZA), tiga dosis pupuk P (0, 50 dan 100 kg SP36/ha) dan tiga frekuensi pemberian pupuk K (diberikan 1x; 2x dan 3x). Perlakuan percobaan MT 2003 adalah kombinasi dua jenis pupuk N (Urea dan ZA), tiga dosis pupuk K (50, 100 dan 150 kg KCl/ha) dan 3 frekuensi pemberian pupuk K seperti pada percobaan MT 2002. Percobaan menggunakan kacang tanah varietas Kelinci yang ditanam dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm dua biji per lubang pada petak perlakuan 4 m x 6 m. Percobaan MT 2002 dan MT 2003 dilaksanakan pada lokasi yang sama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk ZA dapat meningkatkan serapan hara P, K dan S serta meningkatkan hasil polong kering sekitar 51 % dibandingkan dengan yang dipupuk Urea. Pemupukan P kurang efektif dalam meningkatkan hasil kacang tanah. Pemupukan 50 kg SP36/ha hanya dapat meningkatkan hasil polong kering sekitar 10 % daripada yang tanpa pupuk P, dan bila dosisnya ditingkatkan menjadi 100 kg SP36/ha justru menurunkan hasil. Pemupukan 50 kg SP36/ha hanya mampu meningkatkan kadar P dalam tanaman sekitar 15 % dan tidak meningkatkan serapan hara yang lain. Bila dosisnya ditingkatkan menjadi 100 kg SP36/ha, kadar P dalam tanaman meningkat sekitar 7 % daripada yang dipupuk 50 kg SP36/ha. Pemupukan 100 kg KCl/ha meningkatkan hasil kacang tanah secara nyata daripada yang dipupuk 50 kgKCl/ha. Pemberian pupuk KCl satu kali pada saat tanam lebih efektif dan lebih efisien daripada diberikan dua kali, pada saat tanam dan umur satu bulan dalam meningkatkan hasil kacang tanah, dan bila diberikan tiga kali, justru menurunkan hasil. Pemupukan 100 kg KCl/ha dapat meningkatkan kadar K dan P dalam tanaman, masing-masing sekitar 21 dan 15 % bila diberikan bersama 50 kg SP 36/ha, atau masing-masing meningkat 28 % dan 23 % bila diberikan bersama 100 kg SP36/ha, semua itu bila dibandingkan dengan yang tidak disertai pupuk P.
Peranan Keragaman Mineralogi Lempung dalam Strategi Pemupukan P pada Tanah-Tanah Mineral Masam

Syamsul Arifin Siradz
Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta

Tanah-tanah mineral masam mempunyai arti yang sangat penting dalam rangka perluasan areal pertanian di Indonesia. Proyek transmigrasi misalnya sebagian besar berlokasi pada tanah ini. Sebaran-sebaran luas tanah-tanah mineral masam terdapat di Sumatera, Kalimantan, Sulawasi dan Irian Jaya. Tanah ini dianggap sebagai tanah marginal karena umumnya kahat akan unsur hara makro dan mempunyai kapasitas jerapan terutama fosfat yang sangat tinggi yang diduga disebabkan oleh oksida-oksida besi dan aluminium.
Cuplikan-cuplikan tanah untuk penelitian ini diambil dari Lampung (14 cuplikan dari 7 profil), Jawa Barat (10 cuplikan dari 5 profil) dan Jawa Tengah (6 cuplikan dari 4 profil). Cuplikan diambil setiap 20 cm dari permukaan setelah bagian teratas dibersihkan dari seresah. Kaolin dipisahkan dari fraksi lempung (clay) dengan melarutkan oksida-oksida besi dengan larutan ditionit-citrat-bikarbonat. Oksida besi dipisahkan dari fraksi lempung dengan melarutkan lempung silikat dengan cara mendidihkan lempung di dalam larutan alkali kuat. Analisis jerapan P dilakukan dengan mereaksikan larutan yang mengandung P dalam jumlah tertentu dengan cuplikan kaolin atau oksida besi. Kandungan P di dalam larutan equilibrium ditentukan dengan metode molibdat biru. Selisih antara kandungan P semula dengan kandungan P di dalam larutan equlibrium dianggap sebagai P yang dijerap oleh cuplikan kaolin atau oksida besi.
Dari penelitian ini diketahui bahwa kaolin yang berasal dari tempat yang berbeda kapasitas jerapan P juga berbeda. Kapasitas jerapan P kaolin diduga terkait dengan sifat-sifat tertentu a.l. luas permukaan dan besi (Fe2O3) struktural. Kapasitas jerapan P kaolin dalam penelitian ini berkisar antara 760-1393 μgP/g, dengan median 1019 μgP/g dan berada jauh lebih tinggi dari standar kaolin (Georgia kaolin = 146 μgP/g). Kapasitas jerapan oksida-oksida besi (goethit dan hematit) jauh lebih tinggi berkisar antara 6587-19637 μgP/g, dengan median 11488 μgP/g. Dengan asumsi bahwa pada tanah-tanah mineral masam tidak ada komponen lain yang aktif menjerap P selain kaolin dan oksida-oksida besi maka kontribusi kaolin dalam menjerap P adalah 62 % dan oksida-oksida besi 38 %. Oleh karena itu pendapat yang menyatakan bahwa retensi P disebabkan terutama oleh oksida-oksida besi dan aluminium perlu dikaji ulang. Hasil penelitian ini dapat sebagai dasar pertimbangan dalam pengelolaan P pada tanah-tanah mineral masam dimana kaolin merupakan lempung silikat yang merajai.